USD Rp 14.010/US$, menguat 0,11% di pasar spot, melansir data Refinitiv
Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin, tetapi masih tertahan di atas level “keramat” atau psikologis Rp 14.000/US$. Padahal sebelumnya mata uang Garuda cukup meyakinkan menguat 0,36% ke Rp 13.975/US$ beberapa menit sebelum perdagangan ditutup.
Namun di menit-menit akhir, penguatan rupiah terpangkas dan menutup perdagangan Kamis di level Rp 14.010/US$, menguat 0,11% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Secara teknikal, rupiah berada dalam fase konsolidasi sejak pekan lalu, meski kembali berada di atas level psikologis Rp 14.000/US$. Fase konsolidasi semakin terlihat setelah di awal pekan.
Posisi pembukaan pasar dan penutupan pasar Senin (15/6/2020) sama di Rp 14.050/US$, dan membentuk ekor (tail) yang hampir seimbang ke atas dan bawah. Secara teknikal, rupiah disebut membentuk pola Doji, dan berarti pasar sedang ragu ke mana arah pasar selanjutnya.
Terbukti, setelah membentuk Doji, rupiah tidak banyak bergerak dalam 2 hari sebelumnya, dan gagal bertahan di bawah Rp 14.000/US$ kemarin.
Indikator stochastic pada grafik sudah keluar dari wilayah jenuh jual (oversold), sehingga tekanan jual rupiah menjadi berkurang.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.
Level psikologis Rp 14.000/US$ menjadi kunci pergerakan hari ini, selama tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.150/US$ sampai Rp 14.300/US$.
Sebaliknya jika mampu kembali dijebol, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.920/US$.
Sementara untuk jangka lebih panjang, peluang rupiah ke Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100% masih terbuka, selama bertahan di bawah Rp 14.730/US$ (Fibonnaci Retracement 61,8%).
Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).
Secara fundamental, rupiah langsung melesat ke bawah Rp 14.000/US$ kemarin setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan menurunkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Pemangkasan suku bunga tersebut masih akan menjadi sentimen positif bagi rupiah pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (19/6/2020).
Tidak memangkas suku bunga, BI juga membuka peluang untuk kembali menurunkan suku bunga ke depannya. Ini karena tekanan inflasi domestik yang rendah, tekanan eksternal yang mereda, dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Dengan diturunkannya suku bunga tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia yang sedang merosot. Penurunan suku bunga BI diharapkan akan turut menurunkan suku bunga kredit.
Suku bunga kredit yang lebih rendah tentunya akan menarik bagi dunia usaha maupun rumah tangga untuk mengambil pinjaman, sehingga roda perekonomian kembali berputar. Rupiah pun mendapat tenaga untuk kembali menguat.
Meski demikian, sentimen negatif dari perkembangan pandemi penyakit virus corona (Covid-19) di China cukup membebani sentimen pelaku pasar yang membuat rupiah gagal bertahan di bawah Rp 14.000/US$ kemarin. Selain itu Indonesia kini juga menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di ASEAN.